Rabu, 04 Desember 2013

Rumah Aceh



Rumah Adat Rumoh Aceh  – Rumah Aceh yang dibangun menyerupai rumah tempat tinggal tradisional masyarakat Aceh, berbentuk rumah panggung. Lantai bangunan ini dirancang setinggi 9 kaki atau  lebih dari permukaan tanah. Bersandar pada tiang-tiang penyangga dari kayu dengan ruang kolong di bawahnya.Luas lantai bangunan Rumah Adat Rumoh Aceh ini lebih dari 200 m2 dengan tinggi atap pada bagian rabung lebih kurang 8 m. Keistimewaan “Rumah Aceh” dan sejenisnya terletak pada segi kekokohan bangunannya; walaupun bagian-bagian Rumah Adat Rumoh Aceh hanya dipersatukan dengan ikatan tali ijuk, pasak serta baji sebagai pangganti paku dan sekrup.Tiang-tiang Rumah Adat Rumoh Aceh ini terbuat dari jenis kayu keras pilihan yang rata-rata berdiameter lebih kurang 20 cm, dan berjumlah 44 buah tegak berjajar dalam posisi 4 x 11 memanjang dari Timur ke Barat. Penempatan tangga dengan jumlah anak tangga genap masing-masing 14 buah, di ujung Timur bawah “seuramoe keue” dan di ujung Barat bawah “seuramoe likot”, berkesan tidak biasa.Jajaran tiang-tiang Penyangga Rumah Adat Rumoh AcehDalam masyarakat Aceh tidak dikenal adanya istilah rumah adat.

Rumah adat Nangro Aceh Darussalam atau disebut juga Rumoh Aceh merupakan rumah panggung yang memiliki tinggi beragam sesuai dengan arsitektur si pembuatnya. Namun pada kebiasaannya memiliki ketinggian sekitar 2,5-3 meter dari atas tanah. Untuk memasukinya harus menaikit beberapa anak tangga. Terdiri dari tiga atau lima ruangan di dalamnya, untuk ruang utama sering disebut dengan rambat.Biasanya tinggi pintu sekitar 120 - 150 cm dan membuat siapa pun yang masuk harus sedikit merunduk. Makna dari merunduk ini menurut orang-orang tua adalah sebuah penghormatan kepada tuan rumah saat memasuki rumahnya, siapa pun dia tanpa peduli derajat dan kedudukannya. Selain itu juga, ada yang menganggap pintu rumoh Aceh sebagai hati orang Aceh. Hal ini terlihat dari bentuk fisik pintu tersebut yang memang sulit untuk memasukinya, namun begitu kita masuk akan begitu lapang dada disambut oleh tuan rumah.Saat berada di ruang depan ini atau disebut juga dengan seuramoe keu/seuramoe reungeun, akan kita dapati ruangan yang begitu luas dan lapang, tanpa ada kursi dan meja. Jadi, setiap tamu yang datang akan dipersilahkan duduk secara lesehan di atas tikar.

Bagian-bagian Rumoh Aceh
Pada bagian bawah rumah atau disebut dengan yup moh bisa digunakan untuk menyimpan berbagai benda, seperti penumbuk padi dan tempat menyimpan padi. Tidak hanya itu, bagian yup moh juga sering difungsikan sebagai tempat bermain anak-anak, membuat kain songket Aceh yang dilakoni oleh kaum perempuan, bahkan bisa dijadikan sebagai kandang untuk peliharaan seperti ayam, itik, dan kambing.
  • Ruangan depan atau disebut dengan seuramoe reungeun merupakan ruangan yang tidak berbilik (berkamar-kamar). Dalam sehari-hari ruangan ini berfungsi untuk menerima tamu, tempat tidur-tiduran anak laki-laki, dan tempat anak-anak belajar mengaji saat malam atau siang hari. Disaat-saat tertentu, seperti ada upacara perkawinan atau upacara kenduri, maka ruangan inilah yang menjadi tempat penjamuan tamu untuk makan bersama.
  • Ruangan tengah yang disebut dengan seuramoe teungoh merupakan bagian inti dari rumoh Aceh, maka dari itu banyak pula disebut sebagai rumoh inong (rumah induk). Sedikit perbedaan dengan ruang lain, di bagian ruangan ini terlihat lebih tinggi dari ruangan lainnya, karena tempat tersebut dianggap suci, dan bersifat sangat pribadi. Di ruangan ini terdapat dua buah bilik atau kamar tidur yang terletak di kanan-kiri, posisinya menghadap ke utara atau selatan dengan pintu yang menghadap ke belakang. Di antara kedua bilik itu terdapat pula gang yang menghubungkan ruang depan dan ruang belakang. Rumoh inong biasanya sebagai tempat tidur kepala keluarga. Bila anak perempuan baru saja kawin, maka dia akan menempati rumah inong ini. Sementara orang tuanya akan pindah ke anjong. Bila ada anak perempuannya yang kawin dua orang, orang tua akan pindah ke seuramoe likot, selama belum dapat membuat rumah baru atau merombak rumahnya. Di saat upacara perkawinan, mempelai akan dipersandingkan di bagian rumoh inong, begitu juga saat ada kematian rumoh inong akan digunakan sebagai tempat untuk memandikan mayat.
  • Ruangan belakang disebut seuramoe likot yang memiliki tinggi lantai yang sama dengan seuramoe reungeun, serta tidak mempunyai bilik atau sekat-sekat kamar. Fungsinya sering dipergunakan untuk dapur dan tempat makan bersama keluarga, selain itu juga dipergunakan sebagai ruang keluarga, baik untuk berbincang-bincang atau untuk melakukan kegiatan sehari-hari perempuan seperti menenun dan menyulam. Namun, ada waktunya juga dapur sering dipisah dan malah berada di bagian belakang seuramoe likot. Sehingga ruang tersebut dengan rumoh dapu (dapur) sedikit lebih rendah lagi dibanding lantai seuramoe likot. Di bagian atas sering diberi loteng yang memiliki fungsi untuk menyimpan barang-barang penting keluarga.
Tiang Rumoh Aceh berbahan kayu. Di samping itu, kayu pada rumoh Aceh digunakan pula untuk membuat toi, roek, bara, bara linteung, kuda-kuda, tuleueng rueng, indreng, dan lain sebagainya. Lantai dan dindignya terbuat dari papan. Selain itu, beberapa bahan yang digunakan untuk pembuatan Rumoh Aceh diantaranya Trieng bambu yang digunakan untuk membuat gasen (reng), alas lantai, beuleubah (tempat menyemat atap), dan lain sebagainya. Selain menggunakan bambu, adakalanya untuk membuat lantai dan dinding Rumoh Aceh menggunakan enau. Untuk memperkuat bangunanya tidak menggunakan paku, tali pengikat yang berbahan tali ijuk, rotan, kulit pohon waru, dan terkadang menggunakan tali plastik. Adapun atapnya menggunakan daun rumbia atau kadang menggunakan daun enau. Sementara pelepah rumbia digunakan untuk membuat rak-rak dan sanding .

Filosofi dan Keunikan Rumoh Aceh
Rumoh Aceh bukan sekadar tempat hunian, tetapi merupakan ekspresi keyakinan terhadap Tuhan dan adaptasi terhadap alam. Adaptasi masyarakat Aceh terhadap lingkungannya dapat dilihat dari bentuk rumoh Aceh yang berbentuk panggung, tiang penyangganya yang terbuat dari kayu pilihan, dindingnya dari papan, dan atapnya dari rumbia. Pemanfaatan alam juga dapat dilihat ketika hendak menggabungkan bagian-bagian rumah yang tidak menggunakan paku tetapi menggunakan pasak atau tali pengikat dari rotan. Walaupun hanya terbuat dari kayu, beratap daun rumbia, dan tidak menggunakan paku, rumoh Aceh bisa bertahan hingga 200 tahun. Pengaruh keyakinan masyarakat Aceh terhadap arsitektur bangunan rumahnya dapat dilihat pada orientasi rumah yang selalu berbentuk memanjang dari timur ke barat, yaitu bagian depan menghadap ke timur dan sisi dalam atau belakang yang sakral berada di barat. Arah Barat mencerminkan upaya masyarakat Aceh untuk membangun garis imajiner dengan Ka’bah yang berada di Mekkah. Selain itu, pengaruh keyakinan dapat juga dilihat pada penggunaan tiang-tiang penyangganya yang selalu berjumlah genap, jumlah ruangannya yang selalu ganjil, dan anak tangganya yang berjumlah ganjil.Selain sebagai manifestasi dari keyakinan masyarakat dan adaptasi terhadap lingkungannya, keberadaan rumoh Aceh juga untuk menunjukan status sosial penghuninya. Semakin banyak hiasan pada rumoh Aceh, maka pastilah penghuninya semakin kaya. Bagi keluarga yang tidak mempunyai kekayaan berlebih, maka cukup dengan hiasan yang relatif sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali.
Dalam rumoh Aceh, ada beberapa motif hiasan yang dipakai, yaitu:
  1. Motif keagamaan yang merupakan ukiran-ukiran yang diambil dari ayat-ayat al-Quran;
  2. Motif flora yang digunakan adalah stelirisasi tumbuh-tumbuhan baik berbentuk daun, akar, batang, ataupun bunga-bungaan. Ukiran berbentuk stilirisasi tumbuh-tumbuhan ini tidak diberi warna, jikapun ada, warna yang digunakan adalah merah dan hitam. Ragam hias ini biasanya terdapat pada rinyeuen (tangga), dinding, tulak angen, kindang, balok pada bagian kap, dan jendela rumah;
  3. Motif fauna yang biasanya digunakan adalah binatang-binatang yang sering dilihat dan disukai; Motif alam digunakan oleh masyarakat Aceh di antaranya adalah: langit dan awannya, langit dan bulan, dan bintang dan laut; dan
  4. Motif lainnya, seperti rantee, lidah, dan lain sebagainya.












Rumah Tongkonan


Rumah Tongkonan adalah sebuah rumah adat yang berasal dari sulawesi selatan atau yang lebih dikenal sebagai rumah adat masyarakat Toraja. Rumah adat ini mirip dengan perahu dari kerajaan Cina pada zaman dahulu rumah adat ini juga menjadi salah satu objek wisata di daerah Toraja.rumah adat ini juga merupakan warisan leluhur nenek moyang mereka, tongkkona ini tidak dapat di miliki perorang hanya kelompok perkelompo. Tongkonan sendiri berasal dari kata “tongkon” yang artinya duduk. Tongkonan di fungsikan untuk pusat pemerintahan, kekusaan adat dan erkembangan adat. Mereka juga sangat menjaga pelestarian rumah adat ini. Mereka mengajarkan kepada penerus-penerusnya untuk membuat tongkonan dan tidak melupakan sejarah sejara leluhurnya.
Rumah tongkonan ini dianggap sebagai ibu di tana toraja sedangkan bapakya adalah alang sura (lumbuh padi) . rumah tongkonan memiliki tiga bagian di dalamnya yaitu bagian utara,selatan dan  tengah. Tengalk, yaitu ruang di bagian utara yaitu sebagai ruang tamu dan tempat anak-anak tidur, serta tempat menaruh sesaji. Ruang sambung, yaitu ruangan sebelah utara merupakan ruangan untuk kepala keluarga namun juga dianggap sebagai sumber penyakit.  Ruangan yang terakhir, yaitu ruangan bagian tengah yang disebut Sali. Ruang ini berfungsi sebagai ruang makan, pertemuan keluarga, dapur, serta tempat meletakkan orang mati. Utara merupakan arah yang penting bagi rumah adat tongkonan dan masyarakat Tana Toraja. Semua rumah tongkonan menghadap ke utara. Utara dan ujung atap yang berdiri berjejer mengarah ke utara merupakan lambing bahwa leluhur mereka berasal dari utara dan di waktunya nanti mereka akan berkumpul kembali di utara.

Tongkonan Layuk atau Tongkonan Pesio’ Aluk, Tongkonan Pekaindoran atau Pekaindoran, dan Togkonan Batu A’riri merupakan jenis tongkonan yang memiliki fungsi secara khusus. Pertama, Tongkonan Layuk atau Tongkonan Pesio’ Aluk, yaitu tempat untuk menciptakan dan menyusun aturan-aturan sosial keagamaan.Jenis kedua Tongkonan Pekaindoran atau Pekamberan atau Tongkonan kaparengngesan, yaitu Tongkonan yang berfungsi sebagai tempat pengurus atau pengatur pemerintahan adat, berdasarkan aturan dari Tongkonan Pesio’ Aluk. Tongkonan Batu A’riri yang berfungsi sebagai tongkonan penunjang.
Kepala kerbau tak bisa dipisahkan dari rumah adat tongkonan. Kepala kerbau menjadi ciri khas dari rumah tongkonan. Kepala kerbau tersebut ditempel di depan rumah dan tanduk-tanduk kerbau pada tiang utama di depan setiap rumah. Di sisi barat dipasang rahang kerbau yang pernah di sembelih. Di sisi kanan yang menghadap ke arah timur dipasang rahang babi. Semakin banyak jumlah tanduk kerbau yang terpasang di depan rumah semakin tinggi pula derajat keluarga tersebut. Tanduk kerbau di depan tongkonan melambangkan kemampuan ekonomi keluarga yang mendiami rumah tersebut saat upacara penguburan anggota keluarganya.Kerbau dikurbankan dalam jumlah yang banyak setiap upacara adat di Toraja seperti pemakaman. Tanduk kerbau yang dikurbankan kemudian dipasang pada tongkonan milik keluarga bersangkutan. Semakin banyak tanduk yang terpasang di depan tongkonan maka semakin tinggi pula status sosial keluarga pemilik rumah tongkonan tersebut.
Aluk To Dolo merupakan empat warna dasar, yaitu hitam, merah, kuning, dan putih mewakili kepercayaan asli Toraja. Kematian dan kegelapan dilambangkan dengan warna hitam, sementara kuning melambangkan anugerah dan kekuasaan ilahi. Merah merupakan warna darah yang melambangkan kehidupan manusia. Sementara daging dan tulang dilambangkan dengan warna putih yang artinya suci.Tongkonan milik bangsawan Toraja berbeda dengan dari orang umumnya. Yaitu pada bagian dinding, jendela, dan kolom, dihiasi motif ukiran yang halus, detail, dan beragam. Ada ukiran bergambar ayam, babi, dan kerbau, serta diselang-seling sulur mirip batang tanaman.Keunikan yang terdapat di rumah tongkonan ialah tidak digunakannya unsur logam (seperti paku) dalam pembuatan tongkonan. Rumah adat tongkonan akan terus dibangun dan didekorasi ulang oleh masyarakat Toraja. Hal itu bukan karena alasan perbaikan tetapi lebih untuk menjaga gengsi dan pengaruh dari kaum bangsawan. Pembangunan kembali rumah tongkonan akan disertai upacara rumit yang melibatkan seluruh warga dan tidak jauh berbeda dengan upacara pemakaman.




Rumah adat labakkang




Mungkin tidak asing lagi bagi kita terutama orang yang bertempat tinggal di labakang, ini merupakan salah satu objek wisata yang dapat kita kunjungi terutama rumah adat labakkang. Nah ini adalah rumah adat pangkajene yang tepatnya terletak di jalan mesjid raya kampung mandar kecamatan labakkang kabupaten pangkep provinsi Sulawesi selatan. Ini juga adalah salah satu rumah adat yang ada di pangkajene dari berbagai macam rumah adat di pangkajene  dan juga merupakan salah satu bentuk pewarisan dari leluhur para orang labakkang. Orang labakang menyebutnya dengan balla’  ada’’ balla’ ada’ ini sangatlah di jaga oleh para orang labbakang mereka tak ingin balla’ ada’ ini menjadi musnah dan terlupakan. Untuk Pembangunan Rumah ini sendiri manurut data memakan lebih dari Rp 200 juta,oleh karena itu Balla' Lompoa sangat dijaga kebersihan dan perawatannya.


Balla’ ada’ labakang kini mejadi salah satu tempat wisata bagi orang yang berkunjung di pangkajene juga sebagai central bagi masyarakat labbakang dikarenakan setiap ada pertemuan antara orang-orang besar atau petua-petua labakkang di adakan di rumah adat labakkang ini. Baru-baru ini Rumah adat labakkang di jadikan tempat penyambutan Obor Porda (pekan Olah Raga Sulawesi Selatan), tempat berunding para elite labakkang,tempat wisata keluarga atau situs labakkang,tempat menyambut Tamu penting,Perayaan Hari Penting,dan tempat apresiasi sastra masyarakat Labakkang (tempat latihan teater) terkhusus pada siswa atau pelajar .

nah untuk bentuk dan strukturnya  bangunan rumah adat Labakkang ini, dapat menampung dengan kapasitas 250 orang maka yang digunakan untuk pertemuan hanya 4 lontang, satu lontang panjang 3 meter memanjang ke belakang dan 4 lontang) pada lebarnya, praktis yang digunakan layaknya “Aula Mini adalah 12 x 12 meter. Rumah adat Labakkang sebagaimana umumnya rumah adat Bugis Makassar berbentuksulapa Eppa” atau "sulapa Appa", terdiri atas tangga bagian depan (11 anak tangga) "sampulo nsse're ana' tuka' ", lego – lego atau dego-dego (paladang), 6 lontang pada bangunan utama (lontang ri saliweng/lontang riolo padaserang dallekang, lontang ri tengnga/lontang tangnga paddaserang tangnga, lontang ri laleng (paddaserang ri boko), 2 lontang pada bangunan tambahan “Pannasuang”/”Pappaluang”), hanya saja ukuran lontangnya sekitar 4 meter.

Keberadaan Balla' Labakkang kini seakan menjadi sentral aktivitas Labakkang,Pengelolaannya pun sangat diperhatikan, hal itu dikarenakan jumlah biaya yang digunakan untuk membangun Balla Labakkang tidak sedikit,bahkan pembangunannya harus diadakan sampai dua kali sampai betul-betul pas dan cocok dengan adat budaya masyarakat Labakkang, semua bangunan pada Rumah Adat dibuat dengan bahan dasar kayu terbaik atau yang orang kenal dengan sebutan "Kaju Sappu”berikutini merupakan salah satu cara melakukan kebiasaan setiap ada orang ybesar atau petua yang berkunjung yaitu Adat Mappalili sebelum bergegas ke sawah (ladang yang dijadikan lokasi Mappalili) sebelumnya petua dan masyarakat akan berkumpul di rumah adat ini,sebelumnya pada malam sebelum Mappalili diadakan pembacaan Surat Lontarak Labakkang ("Surek Lontara' Labakkang")  Dan penyerahan Badik atau Di perlihatkannya lagi Badik Pusaka Labakkang "Badik Karaeng Labakkang"  

Tapikini fungsinya tidak primer lagi atau tidak sesuai namanya  sebagai Annasuang/appaluang, tapi lebih dimanfaatkan sebagai ruang pertemuan bagi kegiatan pemerintah kecamatan, kelurahan dan desa.



Rumah Adat Jawa Tengah






Rumah Joglo sudah sangat dikenal oleh banyak masyarakat, terutama masyarakat Jawa Tengah. Joglo adalah kerangka rumah yang membentuk rumah adat di Jawa Tengah yang berupa soko guru dan terdiri dari empat pilar atau tiang penyangga utama dan tumpangsari yakni susunan balok yang ditopang oleh soko guru. Secara sosial, dulunya tidak banyak yang mempunyai rumah adat dikarenakan rumah ini merupakan lambang status sosial bagi orang-orang Jawa yang mempunya kemampuan ekonomi yang berlebih. Rumah Joglo adalah jenis rumah yang membutuhkan banyak bahan materi rumah yang mahal, terutama dari kayu. Umumnya pemilik rumah Joglo dulunya berasal dari kalangan ningrat atau bangsawan. Rumah jenis ini biasanya juga membutuhkan lahan yang luas dikarenakan beberapa bagian rumahnya digunakan untuk menerima tamu atau memuat banyak orang.
Umumnya bagian rumah adat Jawa Tengah terdiri dari tiga bagian utama: pendhopo, pringgitan, dan omah ndalem atau omah njero. Pendhopo adalah bagian rumah yang biasanya digunakan untuk menerima tamu. Pringgitan adalah bagian ruang tengah yang digunakan untuk pertunjukan wayang kulit; berasal dari akar kata “ringgit” yang artinya wayang kulit. Bagian ketiga adalah omah ndalem atau omah njero, yang merupakan ruang keluarga. Dalam omah njero terdapat tiga buah kamar (senthong), yaitu senthong kanan, tengah, dan kiri.Dilihat dari strukturnya, rumah adat Jawa Tengah mungkin terlihat lebih sederhana.  Pembangunan bagian rumah seperti pendhopo membutuhkan empat buah tiang penyangga guna menyangga berdirinya rumah. Tiang-tiang tersebut dinamakan soko guru, yang juga merupakan lambang penentu arah mata angin. Dari empat soko guru tersebut, terdapat juga tumpang sari yang merupakan susunan terbalik yang tersangga soko guru.
Ndalem atau omah njero digunakan sebagai inti dari sebuah Joglo. Dilihat dari struktur tata ruangnya, bagian ndalem mempunyai 2 ketinggian yang berbeda. Hal ini bertujuan agar terdapat ruang sebagai tempat sirkulasi udara.Joglo adalah jenis rumah adat suku Jawa yang terlihat sederhana dan digunakan sebagai lambang atau penanda status sosial seorang priyayi atau bangsawan Jawa. Rumah ini mempunyai keunikan atau kekhasan tersendiri dengan adanya tiang-tiang penyangga atau soko guru, beserta tumpang sari nya. Setiap bagian rumah merepresentasikan fungsi yang berbeda, yang dibangun di atas lahan yang luas juga; oleh karena itu, rumah ini hanyalah dipunyai orang dari kalangan berpunya saja.
Rumah adat Joglo dasar filosofi dan arsitekturnya sama dengan Rumah Adat Jawa Timur atau juga Daerah Istimewa Yogyakarta. Joglo adalah jenis rumah adat suku Jawa yang terlihat sederhana dan digunakan sebagai lambang atau penanda status sosial seorang priyayi atau bangsawan Jawa. Rumah adat Joglo di Jawa Timur masih dapat kita temui banyak di daerah Ponorogo. Umumnya rumah Joglo yang terdapat di daerah Ponorogo memiliki dua ruangan, yaitu: ruang depan dan ruang utama/induk. Ruang depan/pendopo biasanya difungsikan sebagai tempat menerima tamu, tempat mengadakan upacara adat dan sebagai balai pertemuan. Sedangkan ruang utama/induk dibagi menjadi tiga ruangan, yaitu:
  • Sentong kiwo (kamar kiri)
  • Sentong tengan (kamar tengah)
  • Sentong tangen (kamar kanan)

Dan umumnya rumah Joglo di bagian sebelah kiri terdapat dempil yang berfungsi sebagai tempat tidur orangtua yang langsung di hubungkan dengan serambi belakang (pasepen) yang digunakan untuk aktifitas membuat kerajinan tangan. Sedangkan di sebelah kanan terdapat dapur dan tempat yang difungsikan untuk menyimpan alat pertanian.Rumah Joglo umumnya terbuat dari kayu jati. Sebutan Joglo mengacu pada bentuk atapnya, mengambil stilasi bentuk sebuah gunung. Dilihat dari strukturnya, rumah adat Jawa Tengah mungkin terlihat lebih sederhana.  Pembangunan bagian rumah seperti pendhopo membutuhkan empat buah tiang penyangga guna menyangga berdirinya rumah. Tiang-tiang tersebut dinamakan soko guru yang terdiri dari empat tiang utama dengan pengeret tumpang songo (tumpang sembilan) atau tumpang telu (tumpang tiga) diatasnya. Struktur rumah Joglo yang seperti itu, selain sebagai penopang struktur utama rumah, juag sebagai tumpuan atap rumah agar atap rumah bisa berbentuk pencu.Pengaruh Agama Islam yang berbaur dengan kepercayaan animisme, agama Hindu dan Budha masih mengakar kuat dan itu sangat berpengaruh dalam arsitekturnya yang kentara dengan filsafat sikretismenya








RUMAH ADAT BATAK TOBA

Rumah Adat Batak Toba disebut Rumah Bolon, yang memiliki bangunan empat persegi panjang yang kadang-kadang ditempati oleh 5 sampai 6 keluarga. Memasuki Rumah Bolon ini harus menaiki tangga yang terletak di tengah-tengah rumah, dengan jumlah anak tangga yang ganjil. Bila orang hendak masuk rumah tersebut, harus menundukkan kepala agar tidak terbentur pada balok yang melintang. Rumah Adat Batak Toba Sumatera Utara, Hal ini diartikan tamu harus menghormati si pemilik rumah. Lantai Rumah Adat Batak Toba Sumatera Utara ini kadang-kadang sampai 1,75m di atas tanah dan bagian bawah dipergunakan untuk memelihara hewan, seperti babi, ayam, dan sebagainya. Pintu masuk Rumah Adat Batak Toba Sumatera Utara ini, dahulunya memiliki 2 macam daun pintu yaitu daun pintu yang horizontal dan vertikal, tapi sekarang daun pintu yang horizontal tak dipakai lagi.
Ruangan dalam rumah adat merupakan ruangan terbuka tanpa kamar-kamar, walaupun bersamaan disitu lebih dari satu keluarga, tapi bukan berarti tidak ada pembagian ruangan. Karena dalam Rumah Adat Batak Toba Sumatera Utara ini pembagian ruangan dibatasi oleh adat mereka yang kuat.Ruangan di belakang sudut sebelah kanan dinamakan jabu bong, yang ditempati oleh kepala rumah atau porjabu bong, dengan isteri dan anak-anak yang masih kecil. Namun di sudut kiri berhadapan dengan Jabu bong dinamakan Jabu Soding, yang dikhususkan untuk anak perempuan yang telah menikah tapi belum mempunyai rumah sendiri. Sedangkan untuk sudut kiri depan dinamakan Jabu Suhat, diperuntukkan bagi anak laki-laki tertua yang sudah nikah dan di seberangnya disebut Tampar Piring diperuntukkanbagitamu.Jika keluarga besar maka diadakan tempat di antara dua ruang atau jabu yang berdempetan, sehingga ruangan bertambah dua lagi dan ruangan ini disebut Jabu Tonga-ronga ni jabu rona. Walaupun Rumah Adat Batak Toba Sumatera Utara tersebut berdempetan, tiap keluarga mempunyai dapur sendiri yang terletak di belakang rumah, berupa bangunan tambahan. Dan di antara dua deretan ruangan yakni di tengah-tengah rumah merupakan daerah netral yang disebut telaga dan berfungsisebagaitempatbermusyawarah.

Struktur Bangunan Rumah Adat Batak Toba
Stuktur bagunan Rumah Batak Toba

Pusat Budaya Batak Toba di sekitar Danau Toba dan pulau suci Samosir yang terletak di dalamnya. Jabu adalah bahasa Toba kata untuk Rumah adat. Rumah-rumah yang terdiri dari tiga bagian. Sebuah substruktur pilar kayu besar bertumpu pada batu datar (atau saat beton) melindungi struktur dari rising basah. Beberapa pilar mendukung balok membujur dikenal sebagai labe-labe, yang menjalankan panjang rumah pada ketinggian kepala untuk membawa atap besar. Pilar lainnya membawa dua balok besar dengan ukiran singa kepala yang, dengan dua balok lateral yang mortised ke dalamnya, membentuk ring balok besar bantalan ruang kecil. Substruktur ini diperkuat dengan balok mortised ke dalam tumpukan yang berfungsi ganda sebagai warung malam untuk ternak. Dinding keluar ringan dan ramping dan memberikan stabilitas tambahan untuk struktur. Dinding dan pelat dinding mendukung kasau menggantung dari labe-labe dengan kabel rotan, sedangkan dasar dinding duduk di ring balok. Musim semi kasau dari pelat dinding dan keluar miring memproduksi kurva atap. Sebagai pengganti reng bracing horisontal, diagonal hubungan-berjalan dari tengah-labe labe ke atap pelana berakhir-memberikan penguatan.The curam bernada besar pelana atap kembali mendominasi struktur. Atapnya tradisional jerami, dan tanpa atap internal yang gulungan mereka menyediakan ruang internal yang besar. Atap segitiga tajam diproyeksikan dan gables tumpang tindih seluruh substruktur. Atap pelana depan meluas lebih jauh dari atap pelana belakang dan halus diukir dan dicat dengan motif dari matahari, mulai, ayam, dan motif geometris dalam warna merah, putih, dan hitam. Atap pelana belakang masih polos.

Kajian Perangkaan
Ahli bangunan adat (arsitek tradisional) suku Batak disebut pande. Seperti rumah tradisional lain, rumah adat Batak merupakan mikro kosmos perlambang makro kosmos yang terbagi atas 3 bagian atau tritunggal banua, yakni banua tongga (bawah bumi) untuk kaki rumah, banua tonga (dunia) untuk badan rumah, banua ginjang (singa dilangit) untuk atap rumah. Arsitektur Batak Toba terdiri atas ruma dan sopo (lumbung) yang saling berhadapan. Ruma dan sopo dipisahkan oleh pelataran luas yang berfungsi sebagai ruang bersama warga huta. Ada beberapa sebutan untuk rumah Batak, sesuai dengan kondisi rumahnya. Rumah adat dengan banyak hiasan (gorga), disebut Ruma Gorga Sarimunggu atau Jabu Batara Guru. Sedangkan rumah adat yang tidak berukir, disebut Jabu Ereng atau Jabu Batara Siang. Rumah berukuran besar, disebut Ruma Bolon. dan rumah yang berukuran kecil, disebut Jabu Parbale-balean. Selain itu, terdapat Ruma Parsantian, yaitu rumah adat yang menjadi hak anak bungsu.

Proses Mendirikan Rumah.
Sebelum mendirikan rumah, masyarakat Batak lebih dulu mengumpulkan bahan-bahan bangunan yang diperlukan, proses pengumpulan ini biasa disebut dalam bahasa Batak Toba “mangarade”. Bahan-bahan yang diinginkan antara lain tiang, tustus (pasak), pandingdingan, parhongkom, urur, ninggor, ture-ture, sijongjongi, sitindangi, songsong boltok dan ijuk sebagai bahan atap. Juga bahan untuk singa-singa, ulu paung dan sebagainya yang diperlukan.Dalam proses mangarade tersebut selalu dilaksanakan dengan gotong royong yang dalam bahasa Batak toba dikenal sebagai “marsirumpa” suatu bentuk kerja sama tanpa pamrih antar penduduk sekampung.Sesudah bahan bangunan tersebut telah lengkap maka teknis pengerjaannya diserahkan kepada “pande” untuk merancang dan mewujudkan pembangunan rumah dimaksud sesuai pesanan dan keinginan si pemilik rumah apakah bentuk “Ruma” atau “Sopo”Biasanya tahapan yang dilaksanakan oleh pande adalah untuk seleksi bahan bangunan dengan kriteria yang digunakan didasarkan pada nyaring suara kayu yang diketok oleh pande dengan alat tertentu. Hai itu disebut “mamingning”.Kayu yang suaranya paling nyaring dipergunakan sebagai tiang “Jabu bona”. Dan kayu dengan suara nyaring kedua untuk tiang “jabu soding” yang seterusnya secara berturut dipergunakan untuk tiang “jabu suhat” dan “si tampar piring”.Tahapan selanjutnya yang dilakukan pande adalah “marsitiktik”. Yang pertama dituhil (dipahat) adalah tiang jabu bona sesuai falsafah yang mengatakan “Tais pe banjar ganjang mandapot di raja huta. Bolon pe ruma gorga mandapot di jabu bona”.Salah satu hal penting untuk kita perhatikan dalam membangun rumah adat batak ini adalah pondasi. Ada makna filosofi masyarakat Batak yang terkandung dan tersirat di dalam pembangunan pondasi rumah mereka, bahwasannya tanpa letak pondasi yang kuat maka rumah tidak bakalan kokoh berdiri. falsafah yang tersirat “hot di ojahanna” masyarakat Batak yang berprinsip bahwa di mana tanah di pijak disitu langit dijungjung.Pondasi dibuat dalam formasi empat segi yang dibantu beberapa tiang penopang yang lain. Untuk keperluan dinding rumah komponen pembentuk terdiri dari “pandingdingan” yang bobotnya cukup berat sehingga ada falsafah yang mengatakan “Ndang tartea sahalak sada pandingdingan” sebagai isyarat perlu dijalin kerja sama dan kebersamaan / kompak dalam memikul beban berat.Pandingdingan dipersatukan dengan “parhongkom” dengan menggunakan “hansing-hansing” sebagai alat pemersatu. Dalam hal ini ada ungkapan yang mengatakan “Hot di batuna jala ransang di ransang-ransangna” dan “hansing di hansing-hansingna”, yang berpengertian bahwa dasar dan landasan telah dibuat dan kiranya komponen lainnya juga dapat berdiri dengan kokoh. Ini dimaknai untuk menunjukkan eksistensi rumah tersebut, dan dalam kehidupan sehari-hari. Dimaknai juga bahwa setiap penghuni rumah harus selalu rangkul merangkul dan mempunyai pergaulan yang harmonis dengan tetangga.Untuk mendukung rangka bagian atas yang disebut “bungkulan” ditopang oleh “tiang ninggor”. Agar ninggor dapat terus berdiri tegak, ditopang oleh “sitindangi”, dan penopang yang letaknya berada di depan tiang ninggor dinamai “sijongjongi”. Bagi orang Batak, tiang ninggor selalu diposisikan sebagai simbol kejujuran, karena tiang tersebut posisinya tegak lurus menjulang ke atas. Dan dalam menegakkan kejujuran tersebut termasuk dalam menegakkan kebenaran dan keadilan selalu ditopang dan dibantu oleh sitindangi dan sijongjongi.

Dibawah atap bagian depan ada yang disebut “arop-arop”. Ini merupakan simbol dari adanya pengharapan bahwa kelak dapat menikmati penghidupan yang layak, dan pengharapan agar selalu diberkati Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam kepercayaan orang Batak sebelum mengenal agama disebut Mula Jadi Na Bolon sebagai Maha Pencipta dan Khalik langit dan bumi yang dalam bahasa Batak disebut “Si tompa hasiangan jala Sigomgom parluhutan”.Di sebelah depan bagian atas yang merupakan komponen untuk merajut dan menahan atap supaya tetap kokoh ada “songsong boltok”. Maknanya, seandainya ada tindakan dan pelayanan yang kurang berkenan di hati termasuk dalam hal sajian makanan kepada tamu harus dipendam dalam hati. Seperti kata pepatah Melayu yang mengatakan “Kalau ada jarum yang patah jangan di simpan dalam peti kalau ada kata yang salah jangan disimpan dalam hati.“Ombis-ombis” terletak disebalah kanan dan kiri yang membentang dari belakang ke depan. Kemungkinan dalam rumah modern sekarang disebut dengan list plank. Berfungsi sebagai pemersatu kekuatan bagi “urur” yang menahan atap yang terbuat dari ijuk sehingga tetap dalam keadaan utuh. Dalam pengertian orang Batak ombis-ombis ini dapat menyimbolkan bahwa dalam kehidupan manusia tidak ada yang sempurna dan tidak luput dari keterbatasan kemampuan, karena itu perlu untuk mendapat nasehat dan saran dari sesama manusia. Sosok individu yang berkarakter seperti itu disebut “Pangombisi do ibana di angka ulaon ni dongan” yaitu orang yang selalu peduli terhadap apa yang terjadi bagi sesama baik di kala duka maupun dalam sukacita. Ruang tamu, yang didukung oleh balok lateral dan melintang, kecil dan gelap. Cahaya masuk melalui jendela kecil di masing-masing dari empat sisi. Penduduk menghabiskan sebagian besar waktu di luar rumah mereka dan rumah sebagian besar digunakan untuk tidur. Sebuah ruang loteng disediakan oleh langit-langit kayu datar atas sepertiga depan ruang tamu. Keluarga pusaka dan kadang-kadang kuil disimpan di sini. Secara tradisional, orang Batak Toba akan masak perapian di bagian depan ruang tamu membuat ruang berasap. Dengan perubahan terbaru dalam praktek kebersihan, dapur kini sering di perpanjangan di belakang rumah.

Rumah orang Batak Toba biasanya rumah komunal besar, tetapi sekarang telah langka, dengan kebanyakan rumah sekarang dibangun dalam gaya etnis Melayu dengan bahan modern dan tradisional. Sementara lebih luas, baik berventilasi, cerah, dan lebih murah untuk membangun, jabu dianggap lebih bergengsi. Dimana jabu masih hidup, mereka umumnya lebih kecil tempat tinggal keluarga tunggal. Sedangkan versi sebelumnya dari jabu yang diakses melalui pintu perangkap menyembunyikan langkah-langkah di lantai, kali sekarang kurang berbahaya dan tangga kayu lebih nyaman di depan rumah menyediakan akses.Batak Toba padi lumbung (sopo) dibangun dalam gaya yang serupa tetapi lebih kecil dari jabu tersebut. Rice disimpan dalam atap dan didukung oleh enam pilar kayu besar, yang membawa cakram kayu besar untuk mencegah masuknya hewan pengerat. Platform terbuka di bawah struktur atap yang digunakan sebagai bekerja dan ruang penyimpanan umum dan sebagai tempat tidur untuk tamu dan laki-laki yang belum menikah. Lumbung padi sekarang jarang digunakan untuk penyimpanan biji-bijian, dan banyak yang telah dikonversi ke ruang tamu dengan Walling off bagian terbuka antara struktur sub-dan atap, dan menambahkan pintu.

Fungsi Rumah Adat Batak Toba :

Sub etnis Batak Toba yang disebut pula dengan Batak Samosir berdiam di sekitar danau Toba dan Pulau Samosir. Rumah adatnya berbentuk panggung dengan atap pelana yang bubungannya melengkung. Bentuk lengkung ini didapatkan dari kelenturan dari bahan kayu yang dirangkai dengan konstruksi kuda-kuda atap secara tekan-tarik. Stabilitas yang tercapai dengan bentuk struktur bertekanan ini disangga oleh struktur rangka yang membingkai dinding rumah.Kolong rumah panggung biasanya digunakan sebagai kandang ternak. Ketinggian lantai rumah bervariasi berdasarkan keinginan memelihara ternak. Hewan kecil seperti kambing menyebabkan ketinggian lantai sebuah rumah rumah lebih rendah dari rumah lain yang memelihara hewan besar seperti kerbau. Karena dipergunakan sebagai kandang ternak, maka kolong ini selain diperkuat dengan struktur utama tiang-tiang penyangga rumah, dilengkapi juga dengan tiang-tiang dan balok-balok tambahan lain.Untuk memasuki rumah Batak Toba dibuat tangga dengan posisi pada lubang yang ada di bawah lantai panggung. Secara adat telah ditentukan bahwa tangga ini selayaknya berjumlah ganjil. Tangga yang cepat aus merupakan kebanggaan bagi pemillik rumah bahwa banyak orang dan tamu yang telah memasuki rumahnya. Tangga ini diberi nama ’tangga rege-rege’Ornamentasi dan dekorasi dari rumah adat Batak Toba mengandung nilai filosofi bagi keselamatan penghuni. Lokasi elemen rumah yang dihias berada pada gevel, pintu masuk, sudut-sudut rumah, bahkan ada yang sampai berada di keseluruhan dinding. Hiasan ini dapat berupa ukiran, dapat diberi warna, atau hanya berupa gambar saja. Tiga elemen warna yang penting adalah merah, putih dan hitam. Merah melambangkan pengetahuan/kecerdasan, putih melambangkan kejujuran/kesucian dan hitam melambangkan kewibawaan/kepemimpinan.

Nilai Budaya :

Nilai budaya itu sangat perlu dilestarikan dan hendaknya dapat ditempatkan sebagai dasar filosofi sebagai pandangan hidup bagi generasi penerus kelak. Ada pendapat yang mengatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat menghargai budayanya, karena itu Bangso Batak perlu menjaga citra dan jati dirinya agar keberadaannya tetap mendapat tempat dalam pergaulan hubungan yang harmonis.


Rumah Adat Kajang Dalam - Jendela Indonesia



Suku Kajang atau yang lebih dikenal dengan Adat Ammatoa adalah sebuah suku yangterdapat pada kebudayaan sulawesi selatan Masyarakat Kajang di bisa di jumpai padaKabupaten Bulukumba lebih tepatnya kecamatan kajang. Sebuah Suku Klasik yang masihkental akan adat istiadatnya yang sangat sakral. Suku ini merupakan salah satu suku yangtetap mempertahankan kearifan lokal sampai saat ini. Suku ini terletak di Sulawesi Selatantepatnya sekitar 200 km arah timur Makassar.Desa suku Kajang yang utama adalah desa Tana Toa. Selebihnya, mereka tersebar didesa Bonto Baji, Malleleng, Pattiroang, Batu Nilamung, dan Tambangan.Suku ini mendiami sebuah kecataman yaitu Kecamatan Kajang, yang merupakanbagian dari kabupaten Bulukumba (daerah yang terkenal dengan pembuat perahu Finisidengan pelaut-pelaut ulung). Dikecamatan Kajang sendiri dibagi menjadi dua wilayah, yaitu Kajang luar (Lembang) dan Wilayah Kajang adat (Kawasan adat Amma Toa) 
Dalam memegang tampuk kepemimpinan ini Ammatowa memilih lima orang pemukaadat untuk menjalankan roda pemerintahan. Kelima pemimpin tersebut diangkat olehAmmatowa dengan suatu perjanjian, di saat alam tidak bersahabat seperti matinya tanamandan hewan atau bencana alam, kelima pemuka adat harus rela melepas jabatannya.Suku ini berprinsip bahwa, daerah Kajang adalah daerah “kamase-masea .Bahkan,salah satu contoh program pemerintah adalahmemberikan akses penerangan (listrik) di daerah ini, di tolak oleh komunitas adat, sehinggasampai saat ini, daerah adat Kajang Ammatoa masih menggunakan penerangan lamputembok yang dulunya terbuat dari buah jarak, tetapi sekarang sudah memakai minyak tanah. Jadi jangan mencari ada alat elektronik di daerah ini. Memasuki kawasan Adat,penduduk tidak boleh memakai alas kaki, termasuk tamu yang datang dari luar.Masih berlakunya hukum peninggalan leluhur ini membuat Kawasan Adat Ammatowatidak pernah berubah sejak pertama kali didirikan.Jalan tanah sepanjang 5 kilometer menuju desa masih tetap bertahan tanpa perubahan yang berarti.Bahkan rumah-rumahadat yang terbuat dari kayu masih berdiri tegak dengan arah membelakangi hutan adat. Ruang tambahan yang terletak dibelakang rumah juga masih ada sebagai simbol memilikianak gadis.Asrinya suasana di kawasan adat initercipta karena pemimpin adat atau Ammatowa yang dibantu lima pemukaadat, secara keras menjalankanperaturan adat. Bahkan kerasnya Ammatowa dalam menjalankanperaturan ini dapat dilihat dari rumahmilik orang yang dianggap suci tersebut.
Rumah pemimpin adat merupakan rumah terjelek. Dindingnya hanyaterbuat dari bambu. Sedangkan lima pemuka adat lainnya memiliki rumah lebih baik dariAmmatowa. Namun dalam melaksanakan kepemimpinannya, lima pemimpin adat inidikenakan kontrak sosial. Mereka dapat dihentikan dari jabatannya jika berbuat kesalahan yang dapat dilihat dari gejala alam.Di bawah kepemimpinan Ammatowa dan kelima pemuka adat, kebiasaan-kebiasaanleluhur tetap dijalankan. Justru dengan kebiasaan ini swasembada segala faktor kehidupan dapat terus berjalan.Dalam kehidupan Masyarakat Kajang, kaum wanita diwajibkan bisa membuat kaindan memasak.Sedangkan kaum pria diwajibkan untuk bekerja di ladang dan membuatperlengkapan rumah dari kayu. Keahlian membuat perlengkapan dari kayu ini jugamerupakan kewajiban bagi kaum pria untuk berumah tangga.Luasnya sawah milik warga Suku Kajang yang terletak jauh dari tempat tinggalmerupakan suatu anugrah tersendiri.dengan luasnya sawah yang menghasilkan berton-ton padi setiap tahun, warga Suku Kajang selalu terhindar dari bahaya kelaparan. Anugrahini sangat disyukuri oleh segenap warga.Sumber dari segala kegiatan atau pola hidup atau hukum adat bersumber dari “pappasang”(semacam undang-undang yang dihafalkan dengan lisan secara turuntemurun). Hukum “Pappasang” merupakan semacam hukum tidak tertulis yang tidak bolehdilanggar. Siapa yang melanggar akan kena “pangellai”,teguran atau hukuman.
 Rumah Adat
Suku Kajang dalam lebih teguh memegang adat dan tradisi moyang mereka dibanding penduduk kajang luar yang tinggal di luar perkampungan. Rumah-rumah panggung yang semuanya menghadap ke barat tertatarapi, khususnya yang berada di Dusun Benteng tempat rumah Amma Toa berada. Tampak beberapa rumah yang berjejer dari utara ke selatan, dengan kata lain setiap rumah dibangun menghadap ke arah barat. Membangun rumah melawan arah terbitnya matahari dipercayai mampu memberikan berkah. Di depan barisan rumah terdapat pagar batu kali setinggi satu meter. Rumah Amma Toa berada beberapa rumah dari utara.Rumah Adat Suku Kajang bila kita melihat secara fisik tidak jauh beda dengan rumah adat masayarakat bugis makassar struktur yang tinggi dan masih mempergunakan kekayaan hutan disekitar untuk membuatnya
Bentuk rumah adat suku kajang sangat unik. Bangunan rumah khas Sulawesi Selatan secara umum adalah rumah panggung. Tapi suku Kajang mempunyai keunikan bentuk rumah panggung tersendiri yakni, dapurnya terletak di depan, menghadap jalan utama. Jadi, kalau anda memasuki salah satu rumah “tau Kajang” ,yang pertama nampak adalah dapur. Ini melambangkan kesederhaan, dan mau menunjukkan apaadanya.Mereka senantiasa menyembunyikan rumah di balik lebatnya hutan, mempunyai kekuatan mistik hingga orang luar yang datang ke sana tanpa izin mereka dan tanpa mereka kehendaki kedatangannya, hanya akan melihat hutan belaka.
  
Membuat pakaian merupakan syarat bagi seorang wanita untuk dapat melangsungkan  pernikahan. Sehingga dalam kehidupannya wanita tanpa keahlian membuat pakaian, tidak dapat menikah. Pembuatan pakaian ini dilakukan secara tradisional, mulai dari pembuatanbenang, proses pewarnaan hingga menenunnya menjadi selembar kain.